Cadar, Kemerdekaan Muslimah dalam Beribadah
Ket: "Artikel ini dimuat di kolom persepsi gorontalo post edisi senin 26 Maret 2018."
Pelarangan mengenakan cadar dikampus bagi mahasiswi menjadi berita yang kian panas dibahas saat ini. Alasan pelarangan mahasiswi bercadar ini terkait paham radikalisme. Kebijakan ini mendapatkan respon pro dan kontra, dari berbagai pihak. Kiai Maaruf Amin mengatakan bahwa, “Kami harus mendengar dulu kenapa cadar itu dilarang. Bercadar itu boleh tapi ada aspek apa UIN melarangnya, MUI akan mendengar apa alasan UIN Sunan Kalijaga menerapkan kebijakan seperti itu. Kalau alasannya masuk akal, akan dilihat lagi aspeknya apa bila kebijakan itu diberlakukan.’ Lanjut beliau, ‘Menggunakan cadar itu bagus dari sisi syariat Islam karena menutup aurat. Ada alasan kuat enggak hingga UIN melarang mahisiswinya bercadar? Terus alasannya masuk akal tidak?.” (JawaPos.com, 06/03/2018).
Pelarangan menggunakan cadar ini, tidak hanya mengusik para mahasiswi bercadar di UIN Sunan kalijaga saja. Namun juga mengusik para mahasiswi bercadar diberbagai kampus yang ada di Indonesia. Sebab para mahasiswi yang bercadar merasa takut, kalau-kalau kebijakan ini akan diikuti oleh perguruan tinggi Islam atau perguruan tinggi umum lainnya yang ada di Indonesia.
Apakah sebenarnya cadar itu?
Cadar adalah kain penutup wajah. Kain ini digunakan oleh para muslimah (baca: wanita beragama Islam) untuk menyempurnakan hijabnya. Selain cadar juga dikenal niqab dan burqah atau purdah yang memiliki fungsi yang sama dengan cadar yaitu sebagai kain penutup wajah yang digunakan oleh para muslimah untuk menyempurnakan hijabnya.
Cadar bukan merupakan monopoli budaya Arab. Sebagaimana yang dikatakan oleh Quraish Shihab dalam bukunya “Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah”, bahwa “Memakai pakaian tertutup bukanlah monopoli masyarakat Arab, dan bukan pula berasal dari budaya mereka”. (Shihab, 2004: 40). Jadi, mengatakan bahwa cadar itu adalah budaya Arab tidaklah tepat, justru sebaliknya cadar juga termasuk ajaran Islam, yaitu sebagai praktek ibadah dari perintah mengenakan jilbab dalam Al-Qur’an surah Al-Ahdzab ayat 59.
Dalam tafsir Jalalain, yaitu kitab tafsir yang disusun oleh dua orang ulama Jalaluddin, yaitu Jalaluddin As-Suyuthi dan Jalaluddin Al-Mahalli, surah Al-Ahdzab ayat 59 ditafsirkan sebagai berikut.
“(Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka’) lafaz jalaabib adalah bentuk jamak dari kata jilbaab, yaitu kain yang dipakai oleh seorang wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya. Maksudnya, hendaklah mereka mengulurkan sebagian dari kain jilbabnya itu untuk menutupi muka mereka, jika mereka hendak keluar karena suatu keperluan, kecuali hanya bagian yang cukup untuk satu mata.” (Terjemahan Tafsir Jalalain, jilid 2, cet-7, 2010: 523).
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Muhammad bin Sirin bertanya kepada ‘Abidah as-Salamani tentang maksud dari jilbab dalam ayat 59 surah Al-Ahdzab, lalu ‘Abidah mengangkat semacam selendang yang dipakainya dan memakainya sambil menutup seluruh kepalanya hingga menutupi pula kedua alisnya dan menutupi wajahnya dan membuka mata kirinya untuk melihat. Ibnu Taimiyah berkata bahwa ketetapan Agama menyangkut aurat wanita melalui dua tahap. Pada tahap pertama agama masih mengijinkan wanita membuka wajah dan telapak tanganya, lalu pada tahap kedua, ijin tersebut dibatalkan dengan ketetapan kewajiban menutupi seluruh badan. Inilah salah satu alasan seorang muslimah menggunakan cadar, sebab ia memandang bentuk ibadah dalam mengaplikasikan perintah Allah swt., ayat 59 surah Al-Ahdzab adalah disempurnakan dengan menutupi wajahnya.
Memang tidak semua ulama memandang jilbab dalam ayat 59 surah Al-Ahdzab adalah dengan menutupi wajah. Sebagaimana Quraish Shihab, dalam Tafsir Al-Misbah-nya, menjelaskan bahwa, “kata jilbaab diperselisihkan maknanya oleh ulama. Al-Biqa’i menyebut beberapa pendapat. Antara lain baju yang longgar atau kerudung penutup kepala wanita, atau pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang dipakainya atau semua pakaian yang menutupi wanita. Semua pendapat ini menurut al-Biqa’i dapat merupakan makna kata tersebut. Kalau yang dimaksud dengannya adalah baju yang longgar, maka ia adalah menutupi tangan dan kakinya, kalau kerudung maka perintah mengulurkannya adalah menutup wajah dan lehernya. Kalau makna pakaian yang menutupi baju, maka perintah mengulurkannya adalah membuatnya longgar sehingga menutupi semua badan dan pakaian. Thabathaba’i memahami kata jilbaab dalam arti pakaian yang menutupi seluruh badan atau kerudung yang menutupi kepala dan wajah wanita.” (Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 11, 2006: 320).
Adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam menafsirkan makna jilbab, ini berarti seorang wanita muslimah berhak memilih pendapat mana yang ingin dia ikuti. Sebab ini adalah bagian dari kemerdekaan seorang muslimah. Kemerdekaan seorang muslimah untuk memilih bagaimana cara ia akan beribadah menjalankan perintah Allah swt., dalam surah Al-Ahdzab ayat 59. Melarang muslimah bercadar, sama halnya dengan membatasi kemerdekaannya dalam beribadah.
Padahal dalam UUD 1945 Bab XI pasal 29 Tentang Agama ayat 2, telah diamanatkan bahwa: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan itu.”
Bercadar merupakan salah satu bentuk pengaplikasian ibadah dari agama Islam (agama yang diakui di Indonesia), yaitu dalam menjalankan perintah Allah swt., untuk mengulurkan jilbab bagi muslimah. Mengeluarkan kebijakan pelarangan bercadar sama halnya dengan mengambil atau menghalangi kemerdekaan seorang wanita muslimah dalam menjalankan praktek ibadah yang diyakininya.
Melarang penggunaan cadar dengan alasan Islam radikal tidaklah bijak rasanya. Ibarat ada seorang wakil rakyat yang terbukti melakukan korupsi, lantas karena ulah satu orang wakil rakyat itu, maka semua wakil rakyat kita hukumi sebagai koruptor, padahal masih ada wakil rakyat yang tulus berjuang untuk rakyat. Demikian juga dengan wanita bercadar, walaupun terdapat dari mereka sebagian radikal tapi jika menghukumi semua yang bercadar adalah radikal maka tidaklah bijak rasanya. Bercadar bukan berarti radikal atau ekstrim, ada juga orang yang tidak bercadar tapi radikal dan ekstrim. Reni Marlinawati anggota komisi X DPR RI, mengatakan bahwa “Argumentasi tersebut sama sekali tidak memiliki korelasi antara paham dengan tampilan, antara isi kepala dengan busana yang dipakai.” (dpr.go.id, 06/03/2018).
Untuk kita masyarakat Serambi Madinah, marilah kita menghormati muslimah yang bercadar. Sebab itu adalah pilihan yang mereka pilih dan merupakan kemerdekaan mereka dalam menjalankan ibadah yang mereka yakini. Anwar Abbas, sekjen MUI, mengatakan bahwa “MUI imbau supaya masyarakat bisa menerima perbedaan pendapat tentang masalah cadar. Jangan dilarang-larang orang pakai cadar. Kampus juga tidak perlu mengatur larangan itu, hormatilah perbedaan pendapat yang bukan masalah akidah” (cnnindonesia.com, 06/03/2018).
Filsuf China kuno, Qong Qiu berkata bahwa, “jangan melakukan pada orang lain apa yang tidak kau inginkan untuk dirimu sendiri”. Ini berarti perlakukanlah orang lain dengan hal-hal yang kita sukai bukan yang tidak kita sukai. Sebagaimana kita yang ingin dihormati dan tidak ingin dirampas kemerdekaannya, maka begitupun dengan muslimah yang bercadar. Hormatilah mereka. Semoga pelarangan bercadar tidak terjadi di tanah Serambi Madinah, khususnya di kampus-kampus yang ada di Serambi Madinah ini. Agar tidak ada muslimah yang merasa dirampas kemerdekaannya dalam beribadah. Aamiin, Wallahu’alam.
Ket: "Artikel ini dimuat di kolom persepsi gorontalo post edisi senin 26 Maret 2018."
Pelarangan mengenakan cadar dikampus bagi mahasiswi menjadi berita yang kian panas dibahas saat ini. Alasan pelarangan mahasiswi bercadar ini terkait paham radikalisme. Kebijakan ini mendapatkan respon pro dan kontra, dari berbagai pihak. Kiai Maaruf Amin mengatakan bahwa, “Kami harus mendengar dulu kenapa cadar itu dilarang. Bercadar itu boleh tapi ada aspek apa UIN melarangnya, MUI akan mendengar apa alasan UIN Sunan Kalijaga menerapkan kebijakan seperti itu. Kalau alasannya masuk akal, akan dilihat lagi aspeknya apa bila kebijakan itu diberlakukan.’ Lanjut beliau, ‘Menggunakan cadar itu bagus dari sisi syariat Islam karena menutup aurat. Ada alasan kuat enggak hingga UIN melarang mahisiswinya bercadar? Terus alasannya masuk akal tidak?.” (JawaPos.com, 06/03/2018).
Pelarangan menggunakan cadar ini, tidak hanya mengusik para mahasiswi bercadar di UIN Sunan kalijaga saja. Namun juga mengusik para mahasiswi bercadar diberbagai kampus yang ada di Indonesia. Sebab para mahasiswi yang bercadar merasa takut, kalau-kalau kebijakan ini akan diikuti oleh perguruan tinggi Islam atau perguruan tinggi umum lainnya yang ada di Indonesia.
Apakah sebenarnya cadar itu?
Cadar adalah kain penutup wajah. Kain ini digunakan oleh para muslimah (baca: wanita beragama Islam) untuk menyempurnakan hijabnya. Selain cadar juga dikenal niqab dan burqah atau purdah yang memiliki fungsi yang sama dengan cadar yaitu sebagai kain penutup wajah yang digunakan oleh para muslimah untuk menyempurnakan hijabnya.
Cadar bukan merupakan monopoli budaya Arab. Sebagaimana yang dikatakan oleh Quraish Shihab dalam bukunya “Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah”, bahwa “Memakai pakaian tertutup bukanlah monopoli masyarakat Arab, dan bukan pula berasal dari budaya mereka”. (Shihab, 2004: 40). Jadi, mengatakan bahwa cadar itu adalah budaya Arab tidaklah tepat, justru sebaliknya cadar juga termasuk ajaran Islam, yaitu sebagai praktek ibadah dari perintah mengenakan jilbab dalam Al-Qur’an surah Al-Ahdzab ayat 59.
Dalam tafsir Jalalain, yaitu kitab tafsir yang disusun oleh dua orang ulama Jalaluddin, yaitu Jalaluddin As-Suyuthi dan Jalaluddin Al-Mahalli, surah Al-Ahdzab ayat 59 ditafsirkan sebagai berikut.
“(Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka’) lafaz jalaabib adalah bentuk jamak dari kata jilbaab, yaitu kain yang dipakai oleh seorang wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya. Maksudnya, hendaklah mereka mengulurkan sebagian dari kain jilbabnya itu untuk menutupi muka mereka, jika mereka hendak keluar karena suatu keperluan, kecuali hanya bagian yang cukup untuk satu mata.” (Terjemahan Tafsir Jalalain, jilid 2, cet-7, 2010: 523).
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Muhammad bin Sirin bertanya kepada ‘Abidah as-Salamani tentang maksud dari jilbab dalam ayat 59 surah Al-Ahdzab, lalu ‘Abidah mengangkat semacam selendang yang dipakainya dan memakainya sambil menutup seluruh kepalanya hingga menutupi pula kedua alisnya dan menutupi wajahnya dan membuka mata kirinya untuk melihat. Ibnu Taimiyah berkata bahwa ketetapan Agama menyangkut aurat wanita melalui dua tahap. Pada tahap pertama agama masih mengijinkan wanita membuka wajah dan telapak tanganya, lalu pada tahap kedua, ijin tersebut dibatalkan dengan ketetapan kewajiban menutupi seluruh badan. Inilah salah satu alasan seorang muslimah menggunakan cadar, sebab ia memandang bentuk ibadah dalam mengaplikasikan perintah Allah swt., ayat 59 surah Al-Ahdzab adalah disempurnakan dengan menutupi wajahnya.
Memang tidak semua ulama memandang jilbab dalam ayat 59 surah Al-Ahdzab adalah dengan menutupi wajah. Sebagaimana Quraish Shihab, dalam Tafsir Al-Misbah-nya, menjelaskan bahwa, “kata jilbaab diperselisihkan maknanya oleh ulama. Al-Biqa’i menyebut beberapa pendapat. Antara lain baju yang longgar atau kerudung penutup kepala wanita, atau pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang dipakainya atau semua pakaian yang menutupi wanita. Semua pendapat ini menurut al-Biqa’i dapat merupakan makna kata tersebut. Kalau yang dimaksud dengannya adalah baju yang longgar, maka ia adalah menutupi tangan dan kakinya, kalau kerudung maka perintah mengulurkannya adalah menutup wajah dan lehernya. Kalau makna pakaian yang menutupi baju, maka perintah mengulurkannya adalah membuatnya longgar sehingga menutupi semua badan dan pakaian. Thabathaba’i memahami kata jilbaab dalam arti pakaian yang menutupi seluruh badan atau kerudung yang menutupi kepala dan wajah wanita.” (Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 11, 2006: 320).
Adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam menafsirkan makna jilbab, ini berarti seorang wanita muslimah berhak memilih pendapat mana yang ingin dia ikuti. Sebab ini adalah bagian dari kemerdekaan seorang muslimah. Kemerdekaan seorang muslimah untuk memilih bagaimana cara ia akan beribadah menjalankan perintah Allah swt., dalam surah Al-Ahdzab ayat 59. Melarang muslimah bercadar, sama halnya dengan membatasi kemerdekaannya dalam beribadah.
Padahal dalam UUD 1945 Bab XI pasal 29 Tentang Agama ayat 2, telah diamanatkan bahwa: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan itu.”
Bercadar merupakan salah satu bentuk pengaplikasian ibadah dari agama Islam (agama yang diakui di Indonesia), yaitu dalam menjalankan perintah Allah swt., untuk mengulurkan jilbab bagi muslimah. Mengeluarkan kebijakan pelarangan bercadar sama halnya dengan mengambil atau menghalangi kemerdekaan seorang wanita muslimah dalam menjalankan praktek ibadah yang diyakininya.
Melarang penggunaan cadar dengan alasan Islam radikal tidaklah bijak rasanya. Ibarat ada seorang wakil rakyat yang terbukti melakukan korupsi, lantas karena ulah satu orang wakil rakyat itu, maka semua wakil rakyat kita hukumi sebagai koruptor, padahal masih ada wakil rakyat yang tulus berjuang untuk rakyat. Demikian juga dengan wanita bercadar, walaupun terdapat dari mereka sebagian radikal tapi jika menghukumi semua yang bercadar adalah radikal maka tidaklah bijak rasanya. Bercadar bukan berarti radikal atau ekstrim, ada juga orang yang tidak bercadar tapi radikal dan ekstrim. Reni Marlinawati anggota komisi X DPR RI, mengatakan bahwa “Argumentasi tersebut sama sekali tidak memiliki korelasi antara paham dengan tampilan, antara isi kepala dengan busana yang dipakai.” (dpr.go.id, 06/03/2018).
Untuk kita masyarakat Serambi Madinah, marilah kita menghormati muslimah yang bercadar. Sebab itu adalah pilihan yang mereka pilih dan merupakan kemerdekaan mereka dalam menjalankan ibadah yang mereka yakini. Anwar Abbas, sekjen MUI, mengatakan bahwa “MUI imbau supaya masyarakat bisa menerima perbedaan pendapat tentang masalah cadar. Jangan dilarang-larang orang pakai cadar. Kampus juga tidak perlu mengatur larangan itu, hormatilah perbedaan pendapat yang bukan masalah akidah” (cnnindonesia.com, 06/03/2018).
Filsuf China kuno, Qong Qiu berkata bahwa, “jangan melakukan pada orang lain apa yang tidak kau inginkan untuk dirimu sendiri”. Ini berarti perlakukanlah orang lain dengan hal-hal yang kita sukai bukan yang tidak kita sukai. Sebagaimana kita yang ingin dihormati dan tidak ingin dirampas kemerdekaannya, maka begitupun dengan muslimah yang bercadar. Hormatilah mereka. Semoga pelarangan bercadar tidak terjadi di tanah Serambi Madinah, khususnya di kampus-kampus yang ada di Serambi Madinah ini. Agar tidak ada muslimah yang merasa dirampas kemerdekaannya dalam beribadah. Aamiin, Wallahu’alam.