Kecemasan Berlebihan dan Stigma Sosial di Tengah Pandemi




Sumber gambar : pixabay.com/MiroslavaChrienova









Kadang, manusia memang suka aneh. Misalnya saja, manusia tak ingin cemas, tapi kok suka cari berita di medsos (media sosial) yang membuat cemas. Keanehan ini pun didukung dengan majunya medsos yang membuat jarak-jarak berita seakan sudah pudar. Kejadian yang baru terjadi semenit lalu, sudah bisa viral di medsos.

Parahnya, di tengah pandemi ini, manusia kok suka menyebarkan berita yang beresiko menaikkan tensi kecemasan daripada berita yang menurunkan tensi kecemasan. Padahal semua punya keinginan yang sama, yaitu ingin tenang. Hadeh, mau tenang, tapi malah suka cari cemas sendiri, aneh kan?

Bayangkan saja, pada 09 April, belum sejam Pemerintah Gorontalo mengumumkan kasus positif covid-19 01 di Prov. Gorontalo. Eh, beritanya sudah nyebar ke grup WA, FB, dan medsos lainnya. Parahnya berita yang nyebar banyak dibumbui dengan bumbu-bumbu kecemasan–biar dramatis–sehingga tak dapat dipastikan berapa puluh ribu manusia yang merasakan kecemasan yang sama malam itu. Sampai ada berita yang sudah dibumbui dengan kabar bahwa pasien covid-19 01 Gorontalo sudah meninggal.

What..., beritanya belum cukup sejam masak sudah meninggal??? Ah, ternyata beritanya tidak benar. Hadeh, buat cemas saja.

Manusia masih semangat menyebarkan berita betapa menakutkannya virus corona. Berita-berita yang seakan menghapus titik-titik cahaya harapan akan cepat usainya pandemi ini. Ah, ini jelas hanya menambah kecemasan masyarakat saja, dan jelas tak baik untuk tensi kecemasan manusia.

Kecemasan pandemi corona sebagaimana kata Kepala Suku Mojok–Puthut Ea–bahwa ini menadi kecemasan bersama.

Memang jelas, sekarang, semua lagi pada cemas. Parahnya lagi beberapa media kok semangat sekali memberitakan ketakutan. Sehingga orang yang suka karlota (dialek manado, baca: rumpi) topik pembahasan karlota-nya itu-itu saja–hanya seputar betapa menakutkannya virus corona. Sehingga paradigma masyarakat seakan dibangun di atas pondasi kecemasan yang berlebihan.

Parahnya lagi, banyak yang memilih mengekspresikan kecemasan berlebihan itu dengan bully, atau dengan stigma sosial yang ditujukan pada pasien dan keluarganya. Bahkan tak hanya pasien–baik positif atau pun yang masih PDP–bahkan ODP dan OTG yang tanpa gejala pun bisa distigma.

Kecemasan berlebihan, sangat mungkin bisa memangkas rasa kemanusiaan. Saat kita sudah amat cemas, dan memilih menstigma, mengkucilkan, menghina, mencaci, para pasien. Maka saat itu kita kehilangan rasa kepeduliaan kita terhadap penderitaan orang lain, dan kemanusiaan kita pun terpangkas oleh kecemasan yang amat berlebihan.

Berbagai alasan yang dianggap manusiawi, sebab untuk menjaga keamanan diri, justru kadang melenyapkan rasa kemanusiaan. Misalnya saja, mengetahui pasien positif covid-19 agar bisa menjaga jarak untuk mengurangi resiko penyebaran, itu dianggap manusiawi. Namun, sayang, akibat kecemasan yang berlebihan, antisipasi itu justru berujung stigma pada pasien. Dalam beberapa kasus, yang disebarkan bukan hanya informasi seadanya saja, namun sampai informasi yang amat privasi. Bayangkan saja, apa perlu menyebarkan foto ktp pasien? Ah, saya rasa tak perlu.
Saya menduga-duga saja, kenapa angka kematian pasien covid-19 masih terus naik, padahal tim medis selalu meng-upgrade cara penanganan pasien. Jangan-jangan penyebabnya malah karena pasien terbebani dengan berbagai stigma sosial. Sehingga imunt tubuh malah menurun akibat beban stigma sosial yang amat berat dipikul.

Para pasien butuh semangat, namun malah menerima beban akibat rasa bersalah–beban pikiran apakah lingkungan sosial masih akan menerimanya. Semua beban itu akibat stigma-stigma sosial yang diberikan kepada para pasien. Ah, saya ingin berkata, “Stigma sosial Anda pada pasien, itu sangat mungkin mengakibatkan nyawa melayang, brooo.”
Di sisi lain, stigma-stigma sosial juga membuat banyak orang jadi enggan untuk memeriksakan dirinya, dan memilih bersembunyi. Sehingga stigma sosial, justru malah memperburuk keadaan di tengah pandemi ini.
Dalam konteks hubungan antar manusia, Quraish Shihab berkata bahwa, “Prinsip utama yang harus diterapkan adalah: ‘Lakukanlah untuk orang lain apa yang Anda ingin orang lain lakukan buat Anda.’ Lihat dan tempatkanlah diri Anda pada posisi orang lain, lalu lakukanlah apa yang Anda harapkan diperlakukan terhadap Anda oleh orang lain....” Saat manusia sakit, tentu dia membutuhkan suport, bukan stigma sosial. Maka, jangan menstigma, sebab kita pun tak ingin distigma, kan?

Yang dibenci adalah virusnya. Yang dijauhi adalah virusnya. Bukan diri pasien yang dibenci, atau dijauhi. Kita hanya menjaga jarak fisik agar tak tertular virus, namun rasa kemanusiaan kita jangan sampai berjarak, apalagi hilang. Indonesia, sekarang, tak butuh orang yang hebat menstigma, tapi butuh orang yang punya rasa peduli.
Kalau Anda tak bisa peduli, hanya bisa stigma. Mending diam saja, dan rebahan. Berhenti menyebarkan stigma-stigma sosial. Indonesia pasti kuat, dan bisa menghadapi pandemi ini bersama-sama. Sehingga move on lah dari menstigma, dan mulailah saling memberi semangat.

Eh, terakhir, kalau bisa jangan melulu membaca berita buruk tentang corona. Cobalah mencari berita baik, misal tentang angka pasien positif sembuh yang semakin meningkat setiap hari. Atau baca artikel yang menghimbur, biar bisa tetap terhibur serta tenang–tak cemas melulu.
Moh. Rivaldi Abdul

Alumni S1 PAI IAIN Sultan Amai Gorontalo. Sekarang, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam Nusantara.

Post a Comment

Previous Post Next Post