Pahamilah, Ini Memang Saat yang Berat untuk Semua Umat Beragama

Oleh: Moh. Rivaldi Abdul.
Sumber: pixabay.com/chidioc
Menghimbau orang melakukan sesuatu yang beda dari kebiasaannya, itu amat berat (baca: sulit). Misalnya, menghimbau orang Indonesia untuk mengganti makanan pokok dari nasi menjadi roti gandum. Aduh!!! itu sungguh berat. Itu sama halnya menghimbau orang Indonesia untuk tak makan, sebab paradigma orang Indonesia adalah belum bisa disebut makan kalau belum makan nasi.

Paradigma ini lahir dari kebiasaan orang Indonesia yang memang sudah biasa makan nasi sebagai makanan pokoknya. Namun, sesuatu yang berat bukan berarti juga mustahil, kan? Ini hanya tentang bagaimana melakukan hal yang sedikit beda dari kebiasaan sehari-hari.

Ah, gambaran di atas, rasanya cocok untuk menggambarkan protes umat muslim terhadap himbauan ulama untuk mendirikan salat wajib di rumah dulu. Gambaran sederhana tentang mangubah kebiasaan makanan pokok, rasanya sama halnya dengan mengubah kebiasaan mendirikan salat di masjid menjadi mendirikan salat di rumah.

Permisilan ini tak bermaksud saya menyamakan antara makan dengan salat, ya. Walaupun, sebenarnya keduanya punya eksistensi yang mirip: makan untuk memberi energi tubuh, dan salat untuk memberi energi jiwa. Dan makan juga bisa jadi ritual–ibadah–asal makan dengan baik, serta niat makan agar tubuh kuat menyembah Allah swt dan mencari nafkah. Ini bergantung dari niat yang kita bangun saja. Nabi Muhammad saw bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung dengan niatnya....” (Hr. Bukhari).

Tentu karena himbauan melakukan sesuatu di luar kebiasaan itu berat. Maka tak mengherankan, jika banyak umat muslim yang protes terhadap himbauan salat wajib di rumah dulu. Rasanya sudah hampir sebulan himbauan ini, namun suara-suara protes itu masih banyak. Apalagi Ramadhan sudah dekat, dan tentu salat tarawih pun dihimbau untuk dilaksanakan di rumah dulu. Hal ini kembali membangkitkan suara-suara protes umat muslim–yang tadinya sudah mulai silent–terhadap himbauan salat di rumah.

Saya sedikit menolak untuk mengatakan suara protes itu adalah suara mereka yang neo-jabariyah. Menurut saya suara protes itu adalah bagian dari suara-suara kerinduan, kerinduan akan suasana salat berjamaah di masjid yang sudah menjadi kebiasaan umat muslim. Atau mungkin adalah suara protes dari orang yang sengaja mau mengacaukan opini umat muslim saja.

Pastinya banyak muslim yang tak siap dengan perubahan kebiasaan ini. Apalagi muslim yang biasa bolak-balik masjid 5 kali sehari, pasti merasa amat berat untuk mendirikan salat tak seperti biasanya di masjid, kan?

Apalagi jika membayangkan Ramadhan yang semakin dekat. Namun, entah sampai kapan pandemi akan terus berlanjut, sehingga sangat mungkin himbauan salat di rumah pun masih terus berlanjut hingga Ramadhan nanti, termasuk salat tarawih. Ramadhan kali ini, sangat mungkin, belum ada luapan jamaah tarawih yang melimpah sampai ke jalanan. Kegembiraan buka puasa bersama di masjid, bahkan kegembiraan salat id berjamaah dan lanjut silaturahim hari raya idul fitri, ah, semua itu masih akan menjadi kerinduan yang amat berat di dada untuk tahun ini.

Kerinduan-kerinduan yang terus terbayang, dan kadang sulit untuk menemukan cara peng-ekspresian yang tepat. Sehingga sebagian pun terjebak untuk mengekspresikannya dengan protes terhadap himbauan ini. Ada yang milih diam memikirkan kerinduan yang akan dihadapi, sehingga tanpa sadar air mata pun bercucuran.

Namun sadarlah, bahwa kerinduan ini tak hanya dirasakan oleh kalian yang protes. Saya yakin, bahwa para ulama juga mengalami kerinduan yang sama. Namun, sebagai orang tua (baca: ulama) yang lebih paham dengan konsep maqashid syariah, yang paham kontek keadaan darurat, yang memahami hadis saat di zaman Nabi Muhammad saw “salat wajib” pernah dihimbau untuk dikerjakan di rumah. Dengan berbagai pertimbangan, sehingga mereka pun menghimbau umat muslim untuk salat di rumah dulu. Ini pastinya keputusan yang amat berat, namun ini jalan yang baik untuk umat saat ini.

Menangislah, jika tak tahan dengan kerinduan suasana salat berjamaah di masjid. Namun, jangan marah-marah, apalagi sampai protes dengan tuduhan tak mendasar pada para ulama. Pahamilah, bahwa ini memang saat yang berat untuk semua manusia, termasuk manusia yang beragama.

Dan juga kerinduan beribadah di rumah ibadah, tak hanya dirasakan oleh umat muslim. Namun, juga dirasakan oleh umat beragama yang lainnya. Tak hanya muslim yang dhimbau untuk ibadah di rumah dulu. Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Chu, mereka juga dihimbau untuk ibadah di rumah dulu.

Namun, kenapa mereka bisa lebih dewasa menyikapinya. Sementara kita–umat muslim–malah protes dan menuduh tidak-tidak pada ulama yang memberi himbauan. Bahkan ada yang sampai menuduh ulama hari ini sudah anti-Islam dan mau menjauhkan umat muslim dari masjid, tuduhan yang sangat mengada-ada. Padahal ulama adalah orang tua yang menuntun jalan beragama kita sebagai umat muslim.

Sikap muslim hari ini yang protes dan menuduh yang tidak-tidak terhadap ulama, ibarat anak kecil yang merengek minta permen pada orang tuanya. Orang tua tahu permen kurang baik untuk kesehatan anaknya, makanya tak diberikan. Dan sadarlah, hanya umat muslim yang sedang merengek-rengek dan menuduh yang tidak-tidak pada orang tuanya–ulama.

Sementara umat lain sudah bisa lebih dewasa, dan paham bahwa ini memang saat yang berat untuk umat beragama. Sebab di saat pandemi corona ini, umat beragama sedang menahan kerinduan untuk beribadah di rumah ibadah masing-masing.

Tak bermaksud membanding-bandingkan antara umat muslim dengan umat lainnya. Hanya mau mengajak, alangkah baiknya di tengah pandemi ini, mari kita–umat muslim–berhenti merengek–tinggalkan protes dengan tuduhan yang mengada-ada–dan mengikuti himbauan ulama. Sambil berdoa agar Allah swt cepat mengangkat bencana pandemi corona ini.
Moh. Rivaldi Abdul

Alumni S1 PAI IAIN Sultan Amai Gorontalo. Sekarang, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam Nusantara.

Post a Comment

Previous Post Next Post