Gu Family Book, Drakor yang Tak Hanya Menampilkan Adegan Per-bucin-an, Namun juga Mengajarkan Kesejatian Manusia








“Saya sudah banyak melihat orang yang lahir sebagai manusia, namun kelakuannya seperti binatang. Yang membuatmu menjadi manusia, bukan bagaimana kamu dilahirkan, namun yang kamu sayangi dalam hatimu.“ Demikian wejangan Jenderal Lee Shoon Shim pada Choi Kang Chi, yang konon dalam jagad pewayangan drama korea (drakor) adalah makhluk setengah gumiho yang punya cita-cita ingin menjadi manusia.

Dari kutipan awal di atas, sudah bisa dilihat kalau Gu Family Book tak hanya sekadar drakor mainstream, yang hanya menampilkan cerita-cerita per-bucin-an antara Yoon Seo Hwa dan Gu Wol Ryung, antara Dam Yeo Wool dan Choi Kang Chi. Namun, drakor lawas tahun 2013 ini, juga menampilkan cerita-cerita yang menghantarkan pada perenungan akan kesejatian manusia bagi para drakonis yang menontonya. 

Nonton drakor, Gu Family Book, seakan sedang mengkaji sebuah ungkapan perenungan “ketahuilah dirimu lewat dirimu”. Ungkapan yang konon, menurut Socrates, akan menghantarkan manusia pada kewajaran hidup sebagai manusia sejati, apabila mampu memaknai dan mengekspresikannya dalam kehidupan. Jadi kayak drakor ala-ala filsafat, yaaa.

“Ehhh, maksud ungkapan itu apaan, sih?” Bingung, ya??? Ok, saya jelasin sedikit, ya.

Gini, sejatinya ukuran manusia bukan hanya dari semata memiliki tubuh manusia. Namun, juga dari sejauh mana manusia mampu mengekspresikan dirinya sebagai manusia, maka itu akan membentuk citra dirinya sebagai manusia yang sebenarnya manusia. Yaaa, kalau ada manusia yang sebenarnya manusia, berarti ada juga manusia yang KW, kan?

Nah, untuk memahami kesejatian diri sebagai manusia, apakah sebenarnya manusia atau jangan-jangan malah manusia KW. Maka diperlukan perenungan, dan salah satu ungkapan perenungan itu adalah “ketahuilah dirimu lewat dirimu”. Maksudnya adalah memahami kesejatian diri sebagai manusia lewat nilai-nilai kemanusiaan yang diekspresikan dalam hidup.

Kata Buya Hamka gini, “Manusia itu sejenis hewan juga, tetapi Tuhan memberikan kelebihannya dengan akal. Orang yang berakal, luas pandangannya kepada sesuatu yang menyakiti atau menyenangkan. Pandai memilih perkara yang memberi manfaat dan menjauhi yang akan menyakiti. Dia memilih mana yang lebih kekal walaupun sulit jalannya daripada yang mudah didapat padahal rapuh. Sebab itu mereka pandang keutamaan akhirat (baca: kebaikan), lebih daripada keutamaan dunia (baca: keburukan).”

Jadi manusia itu sebenarnya hewan juga. Namun, manusia diberi kelebihan makanya beda dari hewan umumnya (kedengarannya agak geer, yaaa). Kelebihan manusia bukan semata pada tubuhnya saja. Namun, juga pada akal yang membantu manusia mengekspresikan dirinya sebagai manusia dalam hidup ini. Jadi, kalau ada kok ya manusia yang kelakuannya kayak orang tak punya otak–akal–maka kemanusiaannya perlu dipertanyakan, tuh. Jangan-jangan si iprit yang lagi nyamar, wkwkwk.

Makanya dalam al-Qur’an, Tuhan sering mengingatkan manusia untuk pakai otak. Firman Tuhan dalam Surah as-Saffat ayat 138, yang terjemahannya, “.... Maka apakah kamu tidak memikirkan?”

Jadi ya harus berpikir–pakai otak–biar bisa bedain mana yang baik dan mana yang buruk, biar tak melakukan perbuatan buruk yang merugikan diri sendiri lebih-lebih merugikan orang lain.

Kata Buya Hamka lagi gini, “Adapun pula, yang turun..., kederajat yang paling hina, sehingga menyerupai binatang (kelakuannya bukan tubuhnya, ya), bahkan lebih hina (baca: berbahaya) daripada binatang. Hanya tubuhnya yang tubuh manusia. Hanya tanduk atau taringnya yang tidak ada, hanya kukunya yang tak panjang. Hanya kakinya yang tak berjalan empat dengan tangannya; bahkan lebih berbahaya dari binatang. Sebab cerdik manusia ada padanya, padahal tipu dayanya tertiru oleh binatang sendiri.”

Ngeri juga, saat ada manusia kok kelakuannya kayak binatang, pasti bakalan buat rugi banyak orang, kan? Contohnya saja manusia yang punya kelakuan kayak tikus berdasi yang gara-gara kelakuannya banyak rakyat miskin tak mendapatkan haknya.

Kalau dalam cerita drakor Gu Familiy Book, ini digambarkan dengan baik pada Choi Kang Chi sebagai monster–makhluk setengah manusia, namun kelakuannya ya kelakuan manusia. Sebaliknya, si Jo Gwan Woong sebagai manusia kok ya kelakuannya kayak monster–tak manusiawi banget, namun pede buanget merasa diri sebagai sebenarnya manusia.

Makanya saya sangat setuju, saat si Choi Kang Chi bilang di depan Jo Gwan Woong, kalau sebenarnya si Jo Gwan Woong lah yang kelakuannya kayak binatang banget. Bukan si Choi Kang Chi yang monster, namun berusaha jadi manusia. Itu mah benar, sebab manusia bukan hanya soal fisik saja, namun kelakuan yang baik juga merupakan bagian dari ekspresi diri sebagai manusi

Jadi sebagai manusia yang sebenarnya manusia, tak hanya fisik saja yang dipoles melulu, ya. Namun, kelakuan sebagai ekspresi diri manusia penting untuk dipoles juga. Sebab nilai manusia yang sesungguhnya tak hanya dari tubuh manusia, namun juga terletak dari kelakuannya sebagai manusia.

Sumber gambar: http://mannamkpop.blogspot.com/2013/05/mannam-korean-drama-gu-family-book.html?m=1
Moh. Rivaldi Abdul

Alumni S1 PAI IAIN Sultan Amai Gorontalo. Sekarang, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam Nusantara.

Post a Comment

Previous Post Next Post