Pelajaran Kepemimpinan dalam Drakor Hwarang: The Poet Warrior Youth







“Si tikus mengacu pada sang penguasa. Dalam puisi ini, sang penguasa sedang sembunyi dan menyia-nyiakan makanan (asik makan saja). Sementara, dia tak peduli dengan rakyatnya.... Jika si tikus terus menghabiskan makanan rakyatnya (meng-korupsi hak rakyat), mereka (rakyat) semua akhirnya akan meninggalkannya. Sebuah kerajaan tanpa rakyat bukanlah sebuah kerajaan.” Demikian kata Wi Hwa–Kepala Instruktur Hwarang–dalam drama korea Hwarang: The Poet Warrior Youth, saat menjelaskan puisi berjudul “Tikus Besar” pada para Hwarang.

Hwarang: The Poet Warrior Youth, merupakan drama korea yang menggambarkan perjalanan Raja Jinheung menjadi raja yang sebenarnya raja. Drakor ini mengambil seting waktu masa Kerajaan Silla pada abad 6 M. Raja Jinheung sendiri merupakan raja dari Kerajaan Silla, yang menjadi raja saat usianya masih berumur 7 tahun. Sebab beliau jadi raja masih berumur 7 tahun, maka ratu–ibunya–lah yang mengisi tahta sampai Raja Jinheung dewasa dan siap untuk menduduki tahta Kerajaan Silla.

Raja Jinheung dikenal sebagai raja hebat dari Silla yang berhasil menyatukan 3 kerajaan besar di Korea pada masa itu: Silla, Baekje, dan Goguryeo. Beliau merupakan salah satu raja dari Silla yang hebat. Layaknya drama korea pada umumnya, drakor Hwarang pun pastinya lebih banyak diisi adegan per-bucin-an, daripada perjalanan hebat sang raja menjadi raja sebenarnya raja. Namun, kalau kritis nontonnya, drakor Hwarang tetap berhasil menggambarkan bagaimana perjalanan Raja Jinheung menjadi raja sebenarnya raja, terutama pada sikap peduli Raja Jinheung pada rakyatnya.

Sehingga drakor Hwarang, tak hanya menyajikan adegan per-bucin-an, namun juga adegan yang menggambarkan sikap empati raja pada rakyat-rakyat yang termarginalkan–terpinggirkan.

Misalnya pernyataan pada pembuka esai ini, “Jika si tikus terus menghabiskan makanan rakyatnya (meng-korupsi hak rakyat), mereka (rakyat) semua akhirnya akan meninggalkannya. Sebuah kerajaan tanpa rakyat bukanlah sebuah kerajaan.” Ada hubungan mutualisme–timbal balik–antara raja dan rakyat. Dalam konteks ke Indonesiaan, hubungan ini antara wakil rakyat–pemerintah/pemimpin–dan rakyat.

Dalam syarat berdirinya sebuah negara, rakyat adalah 1 dari 4 komponen pokok syarat berdirinya negara: wilayah, rakyat, pemerintahan berdaulat, dan pengakuan negara lain. Ini menandakan betapa pentingnya rakyat dalam sebuah negara. Punya wilayah, punya pemerintah, dan diakui negara lain, tapi tak punya rakyat.... Aduh–, gimana yaaa, bingung mikirnya, kan?

Tentu keberadaan rakyat bukan hanya sebagai pelengkap rasa bak garam dalam makanan. Namun, sebagai bagian penting dalam negara yang punya hak (kesejahteraan) dan kewajiban (pengabdian). Sebabnya pemerintah harus benar-benar memperhatikan rakyatnya, jangan sampai ada rakyat yang tak mendapatkan haknya. Jangan sampai ada rakyat yang meninggal karena kelaparan, itu dosa besar pemerintah. Jangan sampai ada mahasiswa yang tak makan di kos selama pandemi, ini dosa besar pemerintah juga.

Sehingga pemerintah harus punya rasa peduli yang tinggi terhadap rakyat. Tak boleh pemerintah hanya mikirin dirinya sendiri. Tak boleh hanya besarin perutnya sendiri, sementara rakyat malah banyak yang hidupnya kelaparan.

Kalau kata Sam Maek Jong–Raja Jinheung–dalam darakor Hwarang, “Sebuah negara dan raja bahagia. Rakyat tidak khawatir dengan negara, tapi raja lah yang khawatir dengan rakyatnya.” Jadi, bukan rakyat yang menderita kelaparan, namun justru wakil rakyat–pemerintah–lah yang seharusnya menderita, sebab beban mengkhawatirkan keadaan rakyat.

Dalam perjalanannya, Raja Jinheung melihat banyak rakyat yang sakit-sakitan, sebab kelaparan. Petani yang terpaksa harus merampok, sebab kekurangan makanan. Itu akibat para pejabat korup, tikus berdasi, yang tak tahu diri. Eh, zaman itu, kan belum ada dasi??? Makanya puisi yang diminta Kepala Instruktur Hwarang untuk dibaca oleh Raja Jinheung judulnya tikus besar, bukan tikus berdasi. Namun, intinya yang namanya pejabat korup, yaaa tikus namanya.

Melihat banyak rakyat yang menderita, maka Raja Jinheung pun miikir, kalau seharusnya dia–raja–lah yang menderita mengkhawatirkan rakyatnya. Bukan malah rakyat yang selalu khawatir mau makan apa besok.

Kekhawatiran Raja Jinheung, itu sama halnya dengan sikap Para Khalifah Nabi Muhammad saw. Misalnya Umar bin Khattab yang hanya mengambil gaji secukupnya untuk makan keluarganya, dan selebihnya, bagi Umar, harta baitul mal–kas negara–adalah hak rakyat. Dan Umar pun sering ronda malam untuk melihat-lihat bagaimana keadaan rakyatnya, jangan sampai ada rakyat yang kelaparan. Kalau sekarang mah ada wakil rakyat yang malah tidur pulas, sebab kekenyangan, boro-boro mau mikirin rakyat yang kelaparan.

Rasa-rasanya drakor Hwarang: The Poet Warrior Youth, cocok untuk tontonan bagi yang cita-citanya ingin jadi wakil rakyat–pemimpin–atau juga bisa bagi yang sudah jadi pemimpin. Apalagi para pemimpin yang tak punya rasa peduli pada rakyat. Cobalah dulu Bapak/Ibu pemimpin budiman untuk jadi drakonis, nonton Hwarang, biar tahu konsep mutualisme raja–pemimpin–dan rakyat. Eh, nontonnya jangan malah asik terjebak dalam menikmati adegan per-bucin-annya saja.

Nonton dan renungi, adegan yang menggambarkan Raja Jinheung dalam melihat rakyatnya. Biar bisa jadi pemimpin yang peduli sama rakyat, bukan malah pemimpin yang ngurusin perut sendiri, plus suka makan hak rakyat lagi.
Moh. Rivaldi Abdul

Alumni S1 PAI IAIN Sultan Amai Gorontalo. Sekarang, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam Nusantara.

Post a Comment

Previous Post Next Post