Buuum... buuum... buuum....
Suara mengerikkan itu masih saja terdengar. Anak-anak yang terluka tak hentinya berdatangan.
Buuum... buuum... buuum....
Terkena reruntuhan bangunan, pecahan kaca, bahkan peluru nyasar. Anak-anak ini terus berdatangan, hati siapa yang tak akan sedih melihat semua ini?
Buuum... buuum... buuum....
Anak-anak yang seharusnya menikmati masa kecilnya dengan bermain, harus terjebak dalam ketakutan peperangan.
Buuum... buuum... buuum....
Kengerian peperangan terjadi di sana. Sementara, di sini, kesedihan terus bertambah dengan terus berdatangannya anak-anak tak bersalah yang menjadi korban peperangan.
Subuh tadi, tiba-tiba terjadi penyerangan dan masih terus berlangsung hingga sekarang. Lokasi peperangannya jauh dari sini, namun suara ledakan dari tiap bom dan rudal yang dijatuhkan dapat terdengar dari tempat kami. Tempat ini di bawah perlindungan PBB, tak ada yang akan berani menyerangnya.
Di sini, tempat pengobatan rakyat sipil yang menjadi korban perang saudara di negeri ini. Saya bertugas di bagian pengobatan khusus merawat anak-anak yang terluka.
Dokter Maryam dan Dokter Marya, mereka berdua merupakan dokter senior dalam penanganan korban anak-anak di sini. Terlihat keduanya sangat cekatan dan seriusnya mengurus anak-anak korban perang.
“Iffah, tolong ambilkan perban dan alkohol, cepat!” minta Dokter Maryam padaku.
“Baik dok,” jawabku yang dengan segera mengambil apa yang diminta Dokter Maryam.
Aku pun membawakan apa yang diminta dokter Maryam, dia pun berkata padaku, “Kau bantu Dokter Marya dan Nuriye, di sini, biar aku dan Ester yang mengurusnya.”
“Siap dok,” jawabku.
Anak kecil yang sedang dirawat Dokter Maryam, terlihat pucat dan tak bersuara, hanya air mata yang terus membasahi pipinya, kepalanya berdarah kena reruntuhan bangunan.
“Cepatlah! Bantu Dokter Marya,” Dokter Maryam kembali mengingatkanku untuk segara membantu Dokter Marya.
“Baik dok." Aku pun segera pergi ke Dokter Marya.
“Ada yang bisa saya bantu dok?” tanyaku pada Dokter Marya, “Ya ampun, luka ini akibat peluru.” Aku kaget melihat anak perempuan yang dirawat Dokter Marya, lukanya akibat terkena peluru.
“Iya, pelurunya masih di bahu anak ini, kita harus bisa mengeluarkannya. Untung saja pelurunya tak mengenai organ dalam tubuh, hanya menembus daging dan tulang dibahunya,” kata Dokter Marya padaku.
Anak perempuan itu hanya bisa menangis tanpa mengeluarkan suara.
“Syukurlah,” kataku, air mataku menetes, sedih rasanya melihat semua ini.
Sejak kedatanganku enam hari yang lalu, setiap hari selalu ada peristiwa yang membuat mataku meneteskan air mata. Hanya aku, ya, hanya aku dokter yang selalu menangis. Dari ke lima dokter yang bertugas mengurusi pasien anak-anak, hanya aku yang selalu menagis.
Dokter Maryam, Marya, Ester, dan Nuriyeh, mereka tak menangis. Bukan karena mereka tak peduli, bukan karena tak sedih. Namun, karena mereka sudah terbiasa dengan pemandangan ini, memebuat mereka lebih tegar dalam menjalankan tugas kemanusiaan. Namun, sebenarnya dalam hati mereka semua menangis.
Perang saudra ini entah kapan akan berakhir?
Akibat kerakusan manusia, anak-anak yang belum mengerti apa-apa terpaksa menanggung dampaknya. Mereka kehilangan masa kecilnya untuk bermain, sebagian kehilangan orang tua dan keluarganya. Apa pun alasan peperangan ini, mereka harus menaggung dosa atas anak-anak ini.
Anak-anak di sini, lebih banyak menghabiskan waktu berlari dari bahaya ledakan bom, daripada bermain.
Jika cahaya di langit menjadi tanda senyuman anak-anak di negeri kami, sebab bahagia melihat kembang api. Di sini, cahaya di langit merupakan ketakutan, sebab bukan kembang api yang terlihat di langit, melainkan rudal yang dijatuhkan.
Hati siapa yang tak sedih melihat semua ini? Hanya hati manusia yang dirasuki setan adu domba peperangan, yang tak sedih melihat semua ini. Mereka terus berperang, padahal melihat banyak korban tak bersalah yang harus menanggung akibatnya.
***
Hari yang melelahkan. Ini hari keenamku di sini, sebagai dokter relawan kemanusiaan dari Indonesia. Di sini, ada kami berlima dokter yang berasal dari Indonesia, empat lainnya adalah Dokter Maryam, Marya, Ester, dan Nuriye. Mereka berempat sudah lebih dahulu menjadi relawan kemanusiaan daripada aku. Mereka sudah hampir satu tahun berada di sini. Dokter Maryam dan Marya adalah yang paling senior di antara kami berlima.
“Langit, buana semesta patut memuji kuasa-Nya, karma berkat-Nya tak henti, limpah kasih-Nya tak terperih. Haleluya! Pujilah Allah yang maha Agung....” Suara nyanyian yang merdu, itu pasti Dokter Marya.
“Dzaalikal kitaabullah raybafihi hudallilmuttaaqiiin....” Dari arah yang sama juga terdengar suara merdu Dokter Maryam yang sedang mengaji.
“Sangat unik, bukan?” kata Ester padaku.
Aku, Ester, dan Nuriye, kami sedang duduk di depan tenda, menikmati sedikit keheningan di malam hari. Syukurlah, sampai sekarang, belum ada suara peperangan yang terdengar. Entah kapan suara menakutkan itu akan datang kembali.
“Apa yang unik, Ester?” tanyaku.
“Maksudnya Ester adalah Dokter Maryam dan Marya, kamu mendengarnya, bukan? Dua suara merdu yang bercampur, lantunan ayat suci al-Qur’an dan nyanyian kidung jamaat, di mana lagi kamu akan menemukannya, jika bukan di sini. Itulah maksud Ester dengan hal yang unik,” kata Nuriye padaku, menjelaskan maksud dari perkataan Ester.
“Iya, itu sangat unik. Sewaktu hari pertamaku di sini, aku sempat kaget, kok bisa mereka berdua beribadah di rumah yang sama dengan ibadah berbeda? Satunya mengaji, satunya menyanyikan kidung jamaat,” kataku.
Ester tersenyum, “Ya, begitulah Dokter Maryam dan Dokter Marya. Bagi mereka perbedaan agama tak menghalangi untuk menjadi teman yang akrab. Coba perhatikan nama mereka, terdengar hampir mirip Maryam dan Marya.”
“Sebenarnya, nama mereka terinspirasi dari satu perempuan yang sama, hanya saja di Indonesia, umat Islam dan Kristen memiliki cara khas dalam menyebut nama perempuan itu. Umat Islam menyebutnya Maryam Ibu suci Isa Al-Masih, sementara umat Kristen menyebutnya Bunda Marya, tapi pada dasarnya yang dimaksud adalah Maryam sang Bunda Suci yang membesarkan Isa, perempuan yang penuh kasih sayang pada sesama manusia. Baik dokter Maryam maupun Marya, mereka berdua sama-sama cocok menggunakan nama itu," jelas Nuriye pada kami.
Aku baru mengetahuinya, bahwa Maryam dan Marya adalah dua nama yang ditujukan untuk satu perempuan. Perempuan yang sangat kasih dan teguh dalam menjaga kesucian, itulah Bunda Maryam.
“Entah bagaimana mereka bisa bertemu?” tanya Ester.
“Apa kau belum pernah mendengarnya Ester? Soal bagaimana mereka sepakat untuk berangkat bersama ke Suriah, menjadi relawan kemanusiaan?”
“Belum Nuriye, memangnya kamu tahu?” tanya Ester. Aku menyimak percakapan mereka berdua, aku pun penasaran bagaimana kedua dokter cantik beda agama ini bisa sepakat berangkat ke Suriah bersama.
“Jawabannya sih sederhana saja, sebab mereka memiliki tujuan yang sama, yaitu ingin membantu orang-orang yang membutuhkan. Mereka bertemu saat kuliah, mereka kuliah di kampus yang sama, dan kebetulan sama-sama ingin jadi relawan kemanusiaan, maka keduanya berniat berangkat bersama ke Suriah.”
“Oh, alasannya sederhana, seperti kebanyakan orang karena ingin membantu orang yang membutuhkan,” kata Ester.
Nuriye pun kembali melanjutkan ceritanya, “Tapi, ada uniknya, yaitu apa yang menjadi motivasi keduanya untuk menjadi relawan kemanusiaan. Menurutku alasan keduanya sangat menarik.”
“Kalian tahu?” lanjut Nuriye, “Motivasi Dokter Maryam adalah karena sebagai muslimah ingin membantu banyak orang, karena dia dokter, maka dia ingin ilmunya bisa bermanfaat untuk orang yang membutuhkan, dan ada satu hadis yang menjadi motivasi dokter Maryam adalah hadis Nabi Muhammad saw, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk manusia lainnya, inilah yang menjadi motivasi Dokter Maryam.”
“Sementara Dokter Marya, tentu motivasinya berasal dari agamanya, kata Dokter Marya ayat yang paling memotivasinya adalah ‘Kasihanilah sesamamu sama seperti kamu mengasihani dirimu sendiri,’ saya lupa kalau itu Injil apa yang dikatakan Dokter Marya.”
“Injil Lukas surah 10 ayat 27,” Ester tiba-tiba meluruskan ayat dari Injil yang disampaikan Nuriye.
“Tapi, di mana bagian menariknya Nuriye?” tanyaku.
“Justru bagian menariknya di sini. Coba kau bayangkan, banyak orang yang mempertentangkan agama, banyak yang berkelahi atas alasan agama, bahkan ada yang karena agama sampai manusia lain tak lagi dianggap manusia. Tapi, lihat, Dokter Maryam dan Marya justru bisa membantu banyak orang dan bergerak bersama-sama dalam misi kemanusiaan, justru karena agama mereka masing-masing,” jelas Nuriye.
“Iya, juga ya, aku tak kepikiran, di saat, banyak orang berkelahi karena alasan agama, mereka justru bersama karena agama mereka yang berbeda,” kataku menaggapi penjelasan Nuriye.
“Itu juga membuktikan, bahwa sebenarnya agama apa pun itu pasti memerintahkan untuk berbuat baik. Karenanya, tak heran Dokter Maryam dan Marya bisa bergerak bersama dalam misi kemanusiaan atas motivasi agamanya masing-masing,” jelas Ester, mencoba menambahkan penjelasan Nuriye.
“Kalian sudah makan?”
“Eh, dok," kataku pada Dokter Maryam, pertanyaan tadi berasal darinya. Kami bertiga pun tersenyum kikuk, sebab kedapatan Dokter Maryam sedang membicarakan dirinya dengan Dokter Marya.
Dokter Maryam hanya tersenyum, “Ayo, kita makan sama-sama, di dalam Dokter Marya dan Aku sudah menyiapkan makanan.”
Kami pun pergi makan bersama dalam suasana kehangatan bersama. Walaupun, kami berbeda agama, Dokter Maryam, Nuriye, dan Aku beragama Islam, sementara Dokter Marya dan Ester beragama Kristen. Itu tak menjadi penghalang kami untuk bergerak dalam misi kemanusiaan yang sama. Sebab itulah yang dikehendaki agama kami, yaitu menjadi manusia yang baik. Dan tentu juga, agama kami tak menjadi penghalang bagi kami makan di meja yang sama dengan penuh keceriaan.