Belajar Ikhlas dari Air Minum Kemasan


Sumber gbr.: pixabay.com/congerdesign







“Buk, beli Aqua,” ucap saya pada penjaga warung, eh, penjaga atau pemilik, ya? Ah, nda penting. Si ibu pun memberikan pesanan saya, “Ini Mas Aqua-nya.” Whaat???– “Ini bukan Aqua, Buk,” protes saya. “Eh, kan sama saja air minum, toh,” bela si ibu. Hadeh, saya mau beli air minum yang mereknya Aqua, Buk....

Pasti buaaanyak manusia di bumi Indonesia yang pernah ngalamin kaya gitu, kan? Bilangnya beli Aqua, eh yang muncul malah merek lain. Atau malah sebaliknya, bilangnya beli Club, eh yang muncul malah Aqua. Hadeh, saya kalau ngalamin kayak gini biasanya maklum saja. Sebab saya tahu kok kebiasaan ter-halu sebagian masyarakat +62, semua air minum kemasan dianggap Aqua.

Jadi, sebagai pembeli tak apa lah mengalah. Toh, isinya sama saja–sama-sama air minum–kan?

Mau protes? Yaaa, bisa juga. Asal protesnya baik-baik ya, jangan marah-marah. Ingat, pembeli itu adalah raja. Maka jadi raja harus baik, jangan jadi raja zalim, sebab dosanya besar, lho.

Hal menarik saat membeli air minum kemasan di warung-warung kecil, kita bisa tahu bahwa banyak orang yang seakan menganggap aqua adalah nama lain air minum kemasan. Jadi, mau yang mereknya Club, Le Minerale, Ake, dst..., itu semua dipahami sebagai Aqua. Kabar baiknya, kerajaan air minum kemasan tetap damai. Si Aqua ikhlas namanya dipakai pada semua air minum kemasan, dan yang lain pun ikhlas dipanggil Aqua. Hingga sekarang belum pernah ada kejadian di mana para air minum kemasan berkelahi dalam kulkas, kan?

Mereka paham, kalau hidup di Indonesia harus memahami banyak ke-halu-an masyarakat +62, termasuk kebiasaan menganggap semua air minum kemasan sebagai Aqua. Sehingga mau tak mau seluruh air minum kemasan harus ikhlas disebut Aqua. Plus, Aqua-nya juga harus ikhlas dong, namanya yang mentereng dipakai untuk seluruh air minum kemasan.

Saya menduga, fenomena ini dipengaruhi oleh kehadiran air minum kemasan itu sendiri. Di mana Aqua merupakan air minum kemasan pertama yang hadir di tengah masyarakat Indonesia. Hal ini mempengaruhi paradigma–cara pandang–masyarakat, sehingga memahami bahwa yang namanya air minum kemasan itu adalah Aqua. Dalam fenomena ini, Aqua tak lagi dipahami sebagai satu merek air minum kemasan, namun justru dipahami sebagai air minum kemasan itu sendiri.

Kalau paham dengan kebiasaan sapu-rata masyarakat Indonesia–kebiasaan yang menyama ratakan semua hal hanya karena kebetulan punya ciri yang sama–maka kita tak akan heran dengan fenomena ini. Sebab masyarakat +62 memang sudah biasa sapu-rata, kan? Seperti orang jenggotan dan pakai gamis, langsung dikira salafi/wahabi. Hadeh, nggak gitu juga, kan? Ada juga kok NU yang jenggotan, kan? Bahkan nonmuslim pun ada yang jenggotan.

Orang-orang yang suka buanget klaim jasa dengan bilang: kalau bukan saya pasti tak berhasil, kalau bukan saya skripsimu nggak bakalan kelar, kalau bukan saya ..., kalau bukan saya .... Huuaaa..., bosan dengarnya, “kalau bukan saya” melulu. Orang kayak gini sepertinya harus belajar dari air minum kemasan. Di mana para air minum kemasan tak menuntut orang harus menyebut nama mereka, yang penting mereka sudah berjasa menghilangkan haus orang kehausan. Dikata, Ake disebut Aqua, si Ake tak bakalan nuntut atau protes, “Eh, itu yang ngilangin haus gue, kok malah dibilang Aqua, sih.”

Ternyata air minum kemasan yang benda mati, bisa lebih ikhlas daripada manusia, ya.

“Nih, yang nulis juga halu buanget, kok manusia dibandingin sama air minum yang benda mati, sih.”

Terserah lah dibandingin sama apa, yang penting belajarlah untuk ikhlas dalam bekerja. Kerja, kerja, woy kerja. Kerja cerdas, kerja tuntas, plus kerja ikhlas.

Dalam “Manuskrip yang Ditemukan di Acra” karya Paulo Coelho, Sang Guru berkata bahwa bekerja itu adalah perwujudan cinta. Artinya, kalau memang mau bekerja–mengabdi untuk agama, bangsa, dan negara–maka pengabdian itu harus didasarkan pada cinta, dengan kata lain harus ikhlas.

Entah ada yang mau menghargai, teruslah berkontribusi. Entah ada orang yang mau mengakui keberadaan, teruslah berkontribusi. Berbuat bukan ingin dihargai oleh orang lain, namun karena memang ingin berbuat saja. Niatkan semua kerja karena Tuhan yang Maha Esa, moga-moga mendapatkan pahala dari-Nya.

Ayo belajar ikhlas, jangan mau kalah sama the gang of air minum kemasan. Belajar berbuat kebaikan dengan ikhlas, bukan berbuat sekadar ingin dipuji orang.

Tuhan itu Maha Melihat, walau orang lain tak mau memandang kebaikanmu–tak menghargai jasa-jasamu. Namun, Tuhan selalu setia melihat perbuatan baik hamba-hamba-Nya. Pilih mana, dilihat manusia atau dilihat Tuhan, nih?
Moh. Rivaldi Abdul

Alumni S1 PAI IAIN Sultan Amai Gorontalo. Sekarang, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam Nusantara.

Post a Comment

Previous Post Next Post