Refleksi Cita-cita Kartini, Ibu Sebagai Pendidik Pertama


Sumber gbr. : pixabay.com/Endho








Kartini, tokoh pendidikan perempuan Indonesia. Umur Kartini tidaklah panjang, membuat jasadnya seakan hanya numpang lewat di dunia. Namun, walau jasad Kartini tidak berumur panjang, tapi pemikiran, cita-cita, dan perjuangan Kartini masih terus hidup hingga sekarang. 

Kartini lahir pada 21 April 1879, yang sekarang 21 April selalu dikenang sebagai hari Kartini. Dan meninggal pada 17 September 1904. Jasadnya berumur singkat hanya 25 tahun. Namun, namannya dan cita-citanya terus hidup hingga sekarang. Dan akan terus hidup selama namannya selalu dikenang sebagai tokoh pendidikan bagi perempuan Indonesia. Akan terus hidup, selama 21 April terus diperingati sebagai hari Kartini.

Lahir dari keluarga bangsawan, sama sekali tidak menjadikan Kartini sombong dengan label darah biru yang dimiliki keluarganya. Sebab dalam pandangan Kartini, “hanya dua macam bangsawan; bangsawan pikiran dan bangsawan budi.’ (Surat Kartini, kepada Nona Zeehandelaar, 18/08.1899)” (Pane, cet-26, 2008: 45).

Membaca surat-surat Kartini, kita akan dapati bahwa walaupun Kartini dipingit (dikurung), namun pikiran dan cita-citanya tetaplah bebas merdeka. Raganya terkurung, namun pikirannya tetaplah bebas. Berbeda dengan orang kebanyakan yang raganya bebas, namun pikirannya terkurung oleh berbagai ketamakan kehidupan dunia.

Cita-cita Kartini hendak mewujudkan pendidikan yang baik bagi perempuan Indonesia. Sebab bagi Kartini perjuangan kemerdekaan suatu bangsa belum akan lengkap tanpa hadirnya bantuan dari perempuan untuk memajukan bangsa. Karena, “dari semenjak dahulu kemajuan perempuan itu menjadi pasal yang penting dalam usahah memajukan bangsa. Kecerdasan pikiran penduduk Bumiputra (baca: Indonesia) tiada akan maju dengan pesatnya, bila perempuan itu ketinggalan dalam usahah itu. Perempuan jadi pembawa peradaban.’ (Surat Kartini kepada Nona Zeehandelaar, 09/01/1901)” (Pane, cet-26, 2008: 97).

Kartini memandang usaha agar perempuan bisa menjadi pembawa peradaban adalah dengan menyediakan pendidikan bagi perempuan. Dan dalam pandangan Kartini pendidikan tidak hanya sekedar mengajarkan materi pelajaran. “Dan pada pendidikan itu janganlah akal saja dipertajam, tetapi budipun harus dipertinggi.’ (Surat Kartini, kepada Nyonya Abendanon, 03/01/1902)” (Pane, 2008: 148).

Lanjut Kartini dalam suratnya yang lain, “Pendirian saya (baca: Kartini), pendidikan itu ialah mendidik budi dan jiwa... ‘Rasa-rasanya kewajiban seorang pendidik belumlah selesai jika ia hanya baru mencerdaskan pikiran saja, belumlah boleh dikatakan selesai; dia harus juga bekerja mendidik budi meskipun tidak ada hukum yang nyata mewajibkan berbuat demikian, perasaan hatinya yang mewajibkan berbuat demikian.’ (Surat Kartini, kepada Nyonya Abendanon, 21/01/1901).” (Pane, 2008: 100-101).

Pendidikan haruslah dapat mempertinggi budi dan mempertajam pikiran, begitulah pandangan Kartini dalam masalah pendidikan. “bila dengan sebenarnya hendak memajukan peradaban, maka haruslah kecerdasan pikiran dan kecerdasan budi sama-sama dimajukan. Dan siapakah yang lebih banyak dapat memajukan kecerdasan budi itu, siapakah yang dapat membantu mempertinggi derajat budi manusia?-ialah perempuan, ibu, karena pada haribaan si ibu itulah manusia itu mendapat didikannya yang mula-mulanya sekali, oleh karena di sanalah pangkal anak itu belajar merasa, berpikir, berkata. Dan didikan yang pertama sekali, pastilah amat berpengaruh bagi penghidupan seseorang.’ (Surat Kartini, kepada Nyonya Ovink-Soer, 1990).” (Pane, 2008: 60).

Perempuan (ibu) adalah pendidik yang pertama bagi manusia. Dan pendidikan yang pertama sangat besar pengaruhnya dalam hidup seseorang. Karena perempuan adalah pendidik yang pertama, maka “Perempuanlah yang menaburkan bibit rasa kebaktian dan kejahatan yang pertama-tama sekali dalam hati sanubari manusia; rasa kebaktian dan kejahatan itu kebanyakannya tetaplah ada pada manusia itu selama hidupnya”.

Lanjut Kartini, “karena itulah kami minta pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak gadis. Kami yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa peradaban bangsa jawa (baca: Indonesia) tiada akan dapat deras majunya, selama kaum perempuan dijauhkan daripada usahah memajukan bangsa itu... ‘adakanlah ibu yang cakap serta berpikiran; tanah jawa pasti akan mendapat pekerja yang cakap memajukannya. Peradaban dan kepintarannya pasti akan diturunkannya kepada anak-anaknya; anak-anaknya perempuan yang akan menjadi ibu pula, anak-anaknya laki-laki yang akhir kelaknya mesti menjadi penjaga kepentingan bangsannya.’ (Surat Kartini, kepada tuan Anton dan Nyonya, 04/10/1902).” (Pane, 2008: 198-200).

Cita-cita Kartini hendak mewujudkan sekolah bagi anak-anak perempuan. Agar kelak akan lahir perempuan yang berpendidikan yang tidak hanya sekedar menjadi wanita karir namun cakap mendidik anak-anaknya. Sebab anak-anak adalah generasi penerus bangsa. Seperti apa wajah bangsa ini dimasa yang akan datang itu semua tergantung dari generasi penerus bangsa. Dan bagaimana keadaan para penerus bangsa, itu semua tergantung dari pendidikan yang mereka dapatkan. Dan dalam hal ini pendidikan dari seorang ibu sangatlah berpengaruh, sebab “ibu adalah madrasah pertama”. Karenanya harapan Kartini ketika perempuan berpendidikan, maka ia akan lebih baik dan cakap dalam mendidik anak-anaknya kelak.

Besar harapan Kartini akan pandangannya di atas, sampai-sampai ia menulis dalam suratnya, “Aduhai, bilakah masanya, orang sebangsaku semuanya setuju dengan paham saya ini? Takut saya, masa itu masih jauh, sangat jauhnya lagi! Tetapi bila tiada juga dimulai mengusahakannya, akan makin jauh lagi, dan akan lebih lama lagi datangnya.’ (Surat Kartini, kepada tuan Anton dan Nyonya, 04/10/1902).” (Pane, 2008: 200).

Masa yang dimaksud Kartini adalah masa di mana perempuan tidak lagi dibatasi untuk sekolah. Perempuan tidak lagi dibatasi untuk berkarya. Dan masa itu pun telah ada di zaman ini. Di zaman sekarang perempuan tidak lagi dibatasi untuk sekolah. Sudah banyak perempuan yang katakanlah berpendidikan, sebab telah melalui pendidikan formal.

Namun kadang justru pendidikan perempuan yang semakin tinggi membuat perempuan lebih fokus dalam mengejar karir. Sehingga melupakan tugas utamanya seperti yang dikatakan ibu Kartini, bahwa perempuan adalah pendidik yang pertama untuk anak-anaknya.

Bnyak pelajaran yang bisa kita ambil dari surat-surat ibu Kartini yang dikumpulkan oleh Armijn Pane,  menjadi sebuah buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Sebuah kata yang menggambarkan perjuangan ibu Kartini dalam menggapai cita-citanya. “Tetapi tiada awan dilangit yang tetap selamanya, demikianpun tiada mungkin akan terus-menerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita kerap kali lahirlah pagi yang seindah-indahnya. Dan itulah yang jadi pelipur hati saya (baca: Kartini). Kehidupan manusia itu sama betul dengan keadaan alam. Yang tiap-tiap hari harus kita doakan kepada Tuhan: Kekuatan.’ (Surat Kartini, kepada Nyonya Abendanon, 28/06/1902).” (Pane, 2008: 178). Itulah salah satu kata ibu Kartini yang menggambarkan keteguhan hatinya dalam perjuangannya mewujudkan cita-cita.

Kartini berkata dalam suratnya, “Teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi! Bila tiada mimpi apakah jadinya hidup!’ (Surat Kartini, kepada Nyanya Abendanon, 28/02/1902).” (Pane, 2008: 150). Seakan Kartini berkata pada para penerusnya, agar teruslah bermimpi (bercita-cita), sebab dengan cita-cita itu kita akan terus melanjutkan langkah perjuangan dalam hidup.

*Cat. : esai ini pernah dimuat di https://rayondewantara.blogspot.com/2018/07/refleksi-cita-cita-ibu-indonesia.html?m=1
Moh. Rivaldi Abdul

Alumni S1 PAI IAIN Sultan Amai Gorontalo. Sekarang, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam Nusantara.

Post a Comment

Previous Post Next Post